Menurut Hafiz Ahmad dalam artikelnya yang berjudul Multimedia, Virtual Reality Dan History Of Art (Resume Kuliah Digital Content Theory oleh Professor Han, Department of Computer Design, Woosong University) dalam web http://www.veetra. com/index.php?option=com_content&task=view&id=50&Itemid=71&PHPSESSID=f90 6bd971
dijelaskan, revolusi industri merupakan titik “keberangkatan” yang
penting karena merombak pola pikir masyarakat pada masa itu, terutama
tentang eksistensi seni dan kerajinan. Kemungkinan menghasilkan
barang-barang “bercita rasa seni” dalam jumlah banyak karena diproduksi
mesin, sehingga menimbulkan perdebatan-perdebatan, yaitu antara seni
sebagai high art atau seni yang juga sebagai craft/kerajinan.
Dapat dikatakan bahwa saat revolusi
industri melahirkan craft, ini merupakan satu hal yang sama sekali baru.
Sebelum revolusi industri bisa dikatakan belum ada “ilmu” tentang
desain, sehingga saat mulai membuat benda-benda craft, ide yang
digunakan sebagai unsur visualisasi dan desainnya diambil dari
mana-mana. Ide bisa datang dari seni era Yunani, Renaissance ataupun
Baroque & Rococo, bahkan campuran dari semuanya. Dalam berkesenian
juga menghendaki timbulnya kembali nilai-nilai kehidupan dalam peradaban
klasik yang dirasakan lebih sesuai, yaitu kebebasan (Drs R. Soekmono,
1981: 111). Maka tidak heran jika produk-produk kerajinan menjadi banyak
tetapi dengan kualitas yang rendah, bahkan tidak berkualitas sama
sekali. Kondisi ini kemudian memicu gerakan yang menentang dalam bentuk
Art and Craft Movement.
Pada masa ratu Victoria tahun 1851,
timbul dua reaksi yaitu reaksi penolakan dan reaksi mendukung. Reaksi
penolakan timbul karena ada yang beranggapan bahwa mesin menciptakan
proses dehumanisasi. Sedangkan reaksi mendukung timbul karena ada yang
beranggapan bahwa dengan hadirnya mesin sebagai alat produksi maka akan
memudahkan pekerjaan manusia. Reaksi penolakan itu dalam seni dan kriya
muncul dalam bentuk gerakan romantik. Romantisisme sangat mementingkan
perasaan serta kemuliaan dari hak individu untuk mengungkapkan
pemikiran. Filsuf romantisisme yang terkenal adalah Hegel yang
menganggap seni dapat sembuhkan keresahan manusia akibat tekanan alam
atau lingkungan. Gerakan romantik yang paling menonjol dalam seni dan
kriya adalah Art and Craft movement dan Art Nouveau (Arief Adityawan S., 1999: 11).
Dalam artikel yang berjudul Design Against Style: Melawan Penindasan Gaya dalam Desain Grafis oleh Ancala Suryaputra (http://www.komvis.com/artikel.html? kategori=artikel&id=136&start=50&PHPSESSID=52a006b68d225cb96c4d7f),
mulai dari gerakan Seni dan Kerajinan (Arts & Crafts Movement)
kemudian masa Art Nouveau hingga tiba di masa modern Art Deco, muncul
media desain grafis yang paling besar peranannya dalam menampilkan
gaya-gaya desain yaitu poster, baik yang bersifat komersil maupun
propaganda sosial kebudayaan dan militer.
Hal tersebut bisa dilacak kembali
melalui perkembangan desain grafis sejak Art Nouveau di Prancis yang
kemudian berbarengan tersebar meluas di seluruh daratan Eropa. Penamaan
gaya yang berbeda-beda seperti Jugendstil (Jerman/Skandinavia),
Secession (Swiss/Austria), Glasgow (Inggris), dan Stile Liberty
(Italia), namun tetap dalam satu nafas yang sama yaitu identifikasi
visual berupa bentuk-bentuk organis, garis tumbuhan, dan garis liuk yang
feminim. Pelbagai aliran seni rupa turut pula memperkaya gaya art
nouveau ini, diantaranya seperti impresionisme dan simbolisme. Desain
grafis Eropa masa ini mampu membawa gerakan atau penciptaan gaya baru
yang merupakan adaptasinya terhadap persinggungan dengan budaya asing.
Mereka mampu menerjemahkan warna lokal dari kultur di luar dunianya
untuk dipahami dalam warna lokal kulturnya sendiri, sehingga dikatakan
Art Nouveau menjadi seni komersil pertama yang secara konsisten dipakai
untuk mempertinggi keindahan.
Perang Dunia I menjadi salah satu ajang
pembuktian keterlibatan desain grafis, seperti yang bisa kita saksikan
dalam poster-poster propaganda, tanda dan simbol dalam identitas
militer. Kemajuan dari revolusi industri yang kemudian menggiring pada
hiruk-pikuk suasana perang dunia pertama itu, telah mengilhami gerakan
manifesto kaum futuris (yang berorientasi pada masa depan) dan dadais
(yang berorientasi pada kritik sosial saat itu). Bersamaan dengan
berbagai permasalahan sosial yang tumbuh pada masa-masa kisruh itu,
muncullah aliran kubisme, konstruktivisme, de stijl, fauvis dan
ekspresionis yang mempengaruhi karakteristik pengembangan desain grafis
selanjutnya, yang dipanggil sebagai gaya desain Art Deco. Bahkan seni
Ziggurat Mesir dan Indian Aztec turut meramaikan gaya desain ini pula.
Di Amerika yang belakangan mulai menunjukkan keadikuasaannya memberi
label tersendiri pada gaya ini yaitu Streamline.
Tak lama berselang, berdirilah sekolah
Bauhaus yang dengan upayanya memadukan seni dan teknologi, menambah
kemajuan pertumbuhan berbagai gaya-gaya desain grafis, yang merupakan
sintesis dari seni, desain dan teknologi. Pemahaman modernitas yang
berupaya mengejar hal-hal baru dan gaya desain modern yang universal
makin merebak.
Dalam abad ke-18 adanya tuntutan
terhadap kebebasan individu, kemudian muncullah apa yang disebut
individualisme. Dalam individualisme yang menjadi pokok permasalahan
adalah “ratio”, yaitu kecerdasan otak atau akal (Rationalisme). Dari
rationalisme akhirnya berkembang berbagai gaya seni dan desain,
berkembang juga bidang-bidang lain seperti penyelidikan, ilmu falaq dan
lain-lain. Dari rationalisme itu menimbulkan pandangan-pandangan baru
yang terutama menghendaki perbaikan nasib manusia yang disebut dengan
istilah Aufklarung (Drs R. Soekmono, 1981: 111).
http://achmadyanu.com/?p=262
No comments:
Post a Comment